Posted by Catatan-catatanku in
Jum’at, 31 Juli 2009, 06.56Aku tak menyangka, bahwa hari ini adalah hari terakhir dari bulan Juli 2009. Sebelumnya pun, aku tak percaya kalau bulan Juli hingga 31 hari. Aku lalu mengeceknya pada Kalender seorang teman sebelah kos, ya, ternyata benar. Bulan ini sampai 31 hari. Itu artinya, gajian para PNS tidak hari ini. Tapi nanti, hari senin, tanggal 03 Agustus 2009. Aku harus bersabar menunggu uluran tangan dari orang tua. Perbekalanku sudah ludes semenjak beberapa hari yang lewat. Yang tersisa hanya perbekalan rasa optimis bisa hidup tanpa uang, dan rasa percaya bahwa aku bisa ngutang terlebih dahulu ke warung sebelah. Ya, kehidupan anak kos sepertiku memang banyak diselimuti pinjam-meminjam, dan hutang menghutang dari kos ke kos sampai warung ke warung. Tak ada tujuan lain, selain untuk bertahan hidup. Atau bahasa kamusnya supaya bisa”survive”.
Bagiku, semuanya adalah pengalaman yang mesti aku arifi dan harus aku abadikan sebagai bekal cerita bagi istri, anak, dan cucuku nanti. Agar, semuanya bisa belajar dari pengalaman orang terdahulu bagaimana manis dan pahitnya kehidupan ini. Juga bagaimana cara bersikap menghadapi hidup. Jangan sampai nanti, dia hidup di dunia ini dengan penuh keterpaksaan dan kurang menerima apa adanya. Kurang menerima kenyataan hidup. Atau tidak santai dalam menjalani hidup. Maunya, hidup itu serba lebih dari orang lain. Bukan berarti mengekang cita-cita. Bagiku, kejarlah cita-cita itu setinggi apa yang kita inginkan.
08.44
7 menit yang lalu, ayahku meneleponku. Ia menanyakan bagaimana kabarku. Apakah baik-baik saja atau kurang lebih baik. Kemudian aku pun balik bertanya. Apakah keadaan ayahku baik saja atau sebaliknya, sakitnya kambuh lagi. Ternyata, benar. Sekarang, ayahku sedang kambuh sakitnya. Kepalanya sakit, leher serta kakinya. Katanya sudah sekitar dua mingguan ia merasakan sakitnya. Baru sekaranglah bapakku mau diperiksakan ke dokter dan membeli obat. Aku bertanya, berapa beli obatnya. Semuanya 130.000 ribu.
Ayahku baru kemarin datang ke Bengkulu. Karena sehari sebelumnya, ia masih di rumah dan menghubungiku lewat ponsel, bahwa ia mau ke Bengkulu dengan tujuan berobat.Ternyata, selama dua minggu ini, setiap kakak-tetehku meneleponya, atau sekedar menanyakan kabarnya, ayahku selalu menjawab baik saja. Padahal, yang ia rasakan adalah sakit. Ayahku tak mau berterus terang atas apa yang dirasakannya. Entah mengapa. Aku pun penuh tanda tanya. Kenapa tak mau langsung jujur pada anak-anaknya perihal apa yang dialaminya. Hanya ayahku dan Tuhan lah yang tahu. Tapi aku hanya bisa memprediksi, kenapa ayah kami tidak mau berterus terang.
Mungkin, bila saja ia terus terang kepada anak-anaknya dengan apa yang dirasakannya, bisa jadi ia malu. Atau apalah, mungkin ia tak mau menyusahkan anak-anaknya. Atau tak mau, bila ia terus terang, akan memberi beban pemikiran pada anak-anaknya. Selain prediksi itu, dalam percakapan dengan ayahku, bahwa selama ini ia sembunyikan perihal sakitnya dengan anak-anaknya. Mungkin karena juga sudah tak tahan denagn apa yang dirasakannya, akhirnya kemarin ia berangkat ke Bengkulu. Ya, tujuan utama adalah berobat, yang lain mungkin silaturahmi dengan anak-anaknya. Ayah..ayah, ada-ada saja. Sabar aja,ya ayahku. Moga Tuhan memberikan keringanan atas apa yang ayah rasakan. Aku di sini, juga tak lupa terus memohon pada-Nya, agar ayah segera sembuh. Aku yakin, ayah pasti kuat.
Pembicaraan disambung dengan adikku. Ia bertanya padaku, apa yang sedang dilakukanku sekarang. Aku tak melakukan apa-apa pagi ini selain sedang membaca buku. Aku pun balik bertanya, Oman sedang apa di sana. Tapi aku yakin, dia sedang meneleponku, bukan sedang mandi, atau apalah itu. Pertanyaanku terus beranak, aku menanyakan kapan mulai efektif kuliah. Oh, katanya lagi-lagi kuliah belum. Mulai kuliah bulan September katanya. Masalahnya, bulan Agustus ini baru saja OSPEK/OPDIK, atau baru pengenalan kampus..
O, iya, bagi yang belum tahu, adikku diterima di UNIB (Universitas Bengkulu), jurusan Ilmu Komunikasi. Ia diterima melalu jalur PPA. Aku tak begitu paham, apa itu PPA. Aku sungguh lupa. Yang penting, dia di UNIB. Begitu saja kok repot!! Membicarakan UNIB, aku jadi teringat masa lalu. Tiga tahun yang lewat, setelah aku lulus dari MAN Model kota Bengkulu, aku sempat ikut audisi SPMB. Pilihan pertama, pendidikan bahasa Inggris UNIB, dan pilihan kedua, sastra Arab UIN jakarta. Satu bulan berikutnya, pengumuman SPMB pun digelar. Karena pengumuman itu diberitakan di koran Republika, aku, dengan perasaan cemas yang menggunung, membeli koran itu. Aku lihat deretan nama yang bejibun itu. Aku baca dengan teliti sambil mencocokkan nomor ujianku. Wah, namaku ada, dan nomorku pun cocok. Cecep Hasanuddin diterima pada pilihan kedua, UIN Jakarta, sastra Arab. Begitu kira-kira redaksinya. Berarti, harapanku masuk UNIB, gagal seketika. Ah, gak papa kataku selanjutnya. Mungkin UNIB bukan yang terbaik untukku, tapi buat adikku saja sebagai penggantinya.
Lalu, aku bertanya lagi pada adikku perihal masih tidaknya menulis di buku harian yang aku beli beberapa bulan yang lalu. Dengan sedikit ragu, adikku menjawab apa adanya tanpa pretensi memojokkan siapa pun. Ya, ia sudah jarang menulis lagi sekarang, selain buku harian yang aku berikan memang sudah penuh dengan tulisannya. Mengapa aku begitu sedikit otoriter menyuruh adikku menulis di buku harian? Biasanya, jika kuliah di jurusan komunikasi, kemampuan yaang diasah adalah kemampuan menulis. Rata-rata, lulusan komunikasi, kerjanya tidak jauh dari dunia tulis menulis. Wartawan misalnya. Bukan berarti yang kuliah di jurusan selain komunikasi tidak bisa menulis, bukan itu. Malah banyak yang jadi penulis atau wartawan, latar belakang pendidikannya malah jauh dari dunia tulis-menulis. Teknik, pertanian, misalnya. Tapi minimal, dengan adikku membiasakan menulis diary setiap hari, suatu saat, bila ia disuruh menulis hal apapun, tak bingung dibanding orang yang tak biasa menulis buku harian.
17.51
Adzan magrib masih menggema di seantero Bandung. Aku tak kuasa meneruskan tulisan ini, sebab aku mau wudhu dulu. Jujur saja, aku tak tahan ingin sekali salat. Dah dulu,ya....
23.04
Sebelum aku merebahkan seluruh tubuhku malam ini, aku akan sedikit berseloroh pada kalian semua. Tentang apa,ya?? Ah, bingung,nih....besok aja,deh.....sukses buat kamu,ya...
Bagiku, semuanya adalah pengalaman yang mesti aku arifi dan harus aku abadikan sebagai bekal cerita bagi istri, anak, dan cucuku nanti. Agar, semuanya bisa belajar dari pengalaman orang terdahulu bagaimana manis dan pahitnya kehidupan ini. Juga bagaimana cara bersikap menghadapi hidup. Jangan sampai nanti, dia hidup di dunia ini dengan penuh keterpaksaan dan kurang menerima apa adanya. Kurang menerima kenyataan hidup. Atau tidak santai dalam menjalani hidup. Maunya, hidup itu serba lebih dari orang lain. Bukan berarti mengekang cita-cita. Bagiku, kejarlah cita-cita itu setinggi apa yang kita inginkan.
08.44
7 menit yang lalu, ayahku meneleponku. Ia menanyakan bagaimana kabarku. Apakah baik-baik saja atau kurang lebih baik. Kemudian aku pun balik bertanya. Apakah keadaan ayahku baik saja atau sebaliknya, sakitnya kambuh lagi. Ternyata, benar. Sekarang, ayahku sedang kambuh sakitnya. Kepalanya sakit, leher serta kakinya. Katanya sudah sekitar dua mingguan ia merasakan sakitnya. Baru sekaranglah bapakku mau diperiksakan ke dokter dan membeli obat. Aku bertanya, berapa beli obatnya. Semuanya 130.000 ribu.
Ayahku baru kemarin datang ke Bengkulu. Karena sehari sebelumnya, ia masih di rumah dan menghubungiku lewat ponsel, bahwa ia mau ke Bengkulu dengan tujuan berobat.Ternyata, selama dua minggu ini, setiap kakak-tetehku meneleponya, atau sekedar menanyakan kabarnya, ayahku selalu menjawab baik saja. Padahal, yang ia rasakan adalah sakit. Ayahku tak mau berterus terang atas apa yang dirasakannya. Entah mengapa. Aku pun penuh tanda tanya. Kenapa tak mau langsung jujur pada anak-anaknya perihal apa yang dialaminya. Hanya ayahku dan Tuhan lah yang tahu. Tapi aku hanya bisa memprediksi, kenapa ayah kami tidak mau berterus terang.
Mungkin, bila saja ia terus terang kepada anak-anaknya dengan apa yang dirasakannya, bisa jadi ia malu. Atau apalah, mungkin ia tak mau menyusahkan anak-anaknya. Atau tak mau, bila ia terus terang, akan memberi beban pemikiran pada anak-anaknya. Selain prediksi itu, dalam percakapan dengan ayahku, bahwa selama ini ia sembunyikan perihal sakitnya dengan anak-anaknya. Mungkin karena juga sudah tak tahan denagn apa yang dirasakannya, akhirnya kemarin ia berangkat ke Bengkulu. Ya, tujuan utama adalah berobat, yang lain mungkin silaturahmi dengan anak-anaknya. Ayah..ayah, ada-ada saja. Sabar aja,ya ayahku. Moga Tuhan memberikan keringanan atas apa yang ayah rasakan. Aku di sini, juga tak lupa terus memohon pada-Nya, agar ayah segera sembuh. Aku yakin, ayah pasti kuat.
Pembicaraan disambung dengan adikku. Ia bertanya padaku, apa yang sedang dilakukanku sekarang. Aku tak melakukan apa-apa pagi ini selain sedang membaca buku. Aku pun balik bertanya, Oman sedang apa di sana. Tapi aku yakin, dia sedang meneleponku, bukan sedang mandi, atau apalah itu. Pertanyaanku terus beranak, aku menanyakan kapan mulai efektif kuliah. Oh, katanya lagi-lagi kuliah belum. Mulai kuliah bulan September katanya. Masalahnya, bulan Agustus ini baru saja OSPEK/OPDIK, atau baru pengenalan kampus..
O, iya, bagi yang belum tahu, adikku diterima di UNIB (Universitas Bengkulu), jurusan Ilmu Komunikasi. Ia diterima melalu jalur PPA. Aku tak begitu paham, apa itu PPA. Aku sungguh lupa. Yang penting, dia di UNIB. Begitu saja kok repot!! Membicarakan UNIB, aku jadi teringat masa lalu. Tiga tahun yang lewat, setelah aku lulus dari MAN Model kota Bengkulu, aku sempat ikut audisi SPMB. Pilihan pertama, pendidikan bahasa Inggris UNIB, dan pilihan kedua, sastra Arab UIN jakarta. Satu bulan berikutnya, pengumuman SPMB pun digelar. Karena pengumuman itu diberitakan di koran Republika, aku, dengan perasaan cemas yang menggunung, membeli koran itu. Aku lihat deretan nama yang bejibun itu. Aku baca dengan teliti sambil mencocokkan nomor ujianku. Wah, namaku ada, dan nomorku pun cocok. Cecep Hasanuddin diterima pada pilihan kedua, UIN Jakarta, sastra Arab. Begitu kira-kira redaksinya. Berarti, harapanku masuk UNIB, gagal seketika. Ah, gak papa kataku selanjutnya. Mungkin UNIB bukan yang terbaik untukku, tapi buat adikku saja sebagai penggantinya.
Lalu, aku bertanya lagi pada adikku perihal masih tidaknya menulis di buku harian yang aku beli beberapa bulan yang lalu. Dengan sedikit ragu, adikku menjawab apa adanya tanpa pretensi memojokkan siapa pun. Ya, ia sudah jarang menulis lagi sekarang, selain buku harian yang aku berikan memang sudah penuh dengan tulisannya. Mengapa aku begitu sedikit otoriter menyuruh adikku menulis di buku harian? Biasanya, jika kuliah di jurusan komunikasi, kemampuan yaang diasah adalah kemampuan menulis. Rata-rata, lulusan komunikasi, kerjanya tidak jauh dari dunia tulis menulis. Wartawan misalnya. Bukan berarti yang kuliah di jurusan selain komunikasi tidak bisa menulis, bukan itu. Malah banyak yang jadi penulis atau wartawan, latar belakang pendidikannya malah jauh dari dunia tulis-menulis. Teknik, pertanian, misalnya. Tapi minimal, dengan adikku membiasakan menulis diary setiap hari, suatu saat, bila ia disuruh menulis hal apapun, tak bingung dibanding orang yang tak biasa menulis buku harian.
17.51
Adzan magrib masih menggema di seantero Bandung. Aku tak kuasa meneruskan tulisan ini, sebab aku mau wudhu dulu. Jujur saja, aku tak tahan ingin sekali salat. Dah dulu,ya....
23.04
Sebelum aku merebahkan seluruh tubuhku malam ini, aku akan sedikit berseloroh pada kalian semua. Tentang apa,ya?? Ah, bingung,nih....besok aja,deh.....sukses buat kamu,ya...
No Response to "Catatan 31Juli 2009"
Posting Komentar
Membacalah, mengomentarlah. Maka lihat apa yang terjadi.