Duka Teing ah....

Catatan 18 Juli 2009

0 komentar
Sabtu, 18 Juli 2009, 09.12

Diaryku, terus terang, aku sangat bingung pagi ini. Entah mengapa. Sejak aku membuka bajumu, aku tak habis pikir, aku bingung, aku mau nulis apa? Rasanya, otak ini hampa. Otak ini terasa tidak ada apa-apanya. Kosong. Sepi dengan kata-kata. Apa yang salah denganku,Diaryku? Apakah aku sudah lama tidak membaca buku sehingga aku kehilangan kosa-kata? Apakah itu Diaryku? Tolonglah aku sahabatku. Jangan biarkan sahabatmu ini lalai dalam membaca dan menulis. Suruh lah ia terus memperkaya kosa-kata dengan membaca dan mengabadikannya dalam menulis. Berikanlah semangat padanya. Bukankah memberikan semangat pada saudaranya adalah bagian dari ibadah juga? Kau lebih tahu Diaryku.


Terus? Apa yang hendak aku tulis,Diaryku? Adakah kau ide buatku? Jangan biarkan aku ini mentok terlalu lama. Bila kau ada ide, cepatlah beritahu aku. Apakah kau juga sedang tak ada ide,Diaryku? Apa kau mentok juga sama sepertiku? Masyaallah Diaryku, tolong tangkap ide itu, atau kau ingat-ingat kembali kenangan yang berkesan dalam hidupmu. Kemudian, tulislah di buku Harianmu atau di Komputermu. Bila kau sangat sulit menuliskannya, tulis saja tentang kesulitanmu. Tulis saja apa adanya, dan adanya apa. Jujurlah pada hatimu. Karena, bila kau menulis menurut kata Hatimu, maka tulisanmu akan semakin indah. Percayalah. Karyamu akan terus dikenang oleh anak cucumu kelak. Kau tidak akan mati. Bila saja kau memang mati, itu hanya fisikmu saja. Sedangkan karyamu, tidak akan pernah mati. Ia akan terus diapresiasi oleh mereka yang cinta kepada ilmu. Kita mungkin tidak ragu lagi dengan kehebatan Buya Hamka dengan”Tenggelamnya Kapal Vanderwick,”Di Bawah Lindungan Ka’bahnya, dan juga Maha karya”Tafsir Al-Azharnya” Kemudian ada Pramoedya Ananta Toer dengan”Bumi Manusianya” dan karya lainnya. Hamka dan Mas Pram, kini memang telah tiada, namun karya mereka, sampai hari ini terus hidup dan terus diapresiasi. Tidak kah kau terpancing untuk berkarya,Diaryku?

16.48

Langit diluar terlihat mendung. Aku pun yakin. Belum tentu itu pertanda akan hujan. Tapi, memang agak gelap tidak seperti biasanya. Seandainya saja turun hujan, aku turut bersyukur atasnya. Aku pun selalu menunggu sebenarya. Cuma aku tak ingin cerita saja denganmu. Aku malu menceritakannya. Aku tak tahu apa sebabnya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa lingkungan yang ada di sekitarku, kini, sudah mulai berdebu. Kering. Kerontang. Berhawa panas. Gersang. Wah, banyak sekali sebutannya. Segudang mungkin kalau aku mau menyebutnya. Makanya, berat sekali harapan aku, agar hujan turun sore ini. Turunkanlah ya Allah kekuasaanmu. Agar semua binatang kecil bersorak-sorai mencicipi air langit-Mu. Begitu pun denganku, aku ingin menikmati air hujan, memainkannya layaknya anak-anak ketika bermain air hujan.

17.16

Maaf agak sedikit telat,Diaryku. Barusan, aku ada urusan dengan Tuhanku. Alhamdulillah, urusan itu telah saya selesaikan. Tinggal menunggu beberapa jam lagi, aku harus wajib lapor kembali. Bila aku lupa, atau aku pura-pura melupakannya, kiranya tak masalah bagi Tuhan. Tapi bagiku, itu beban yang sangat membebani. Jiwaku tak kan pernah tenang karenanya. Masalahnya, aku wajib lapor lima kali dalam sehari. Diaryku, aku jadi teringat dengan Syeh Puji. Apakah Diaryku tahu siapa Syeh Puji? Aku sangat yakin, bahwa kau tahu tentangnya walau hanya sedikit. Beberapa bulan yang lalu, dia pernah tersandung kasus pernikahan siri dengan seorang wanita di bawah umur. Namanya Siti Ulfah kalau tidak salah. Nah, karena kasus itu, Syeh yang selalu memakai Jubah itu dikenakan wajib lapor ke Kepolisian setempat. 2 kali dalam seminggu. Itu pun, katanya, gak pernah datang sama sekali. Akhirnya, dengan sedikit memaksa, polisi mendatangi rumahnya dan kemudian digelandang ke kantor Polisi. Ah...ada-ada saja. Aku saja, wajib lapor dengan Tuhanku, Tuhan Syeh Puji, dan Tuhan kita semua sebanyak 5 kali dalam sehari. He..

Catatan 17 Juli 2009

0 komentar
Jum;at, 17 juli 2009, 08.35

Hai Diaryku, jumpa lagi denganku di hari yang mulia ini. Tentunya dalam topik dan bahasan yang berbeda. Tapi, apa,ya? Oh, iya, hari kan hari Jum’at, hampir lupa aku. Padahal, perasaan, Jum’at baru saja kemarin. Sekarang, sudah Jum’at lagi. Alangkah begitu cepatnya hari. Aku pun tidak tahu, sudah maksimal kah perbuatan baik yang telah aku lakukan? Atau aku lebih banyak berbuat tidak baiknya ketimbang baiknya? Hanya sang pemilik Alam lah yang patut menilainya. Aku hanya mencoba berusaha melakukan yang terbaik yang aku lakukan. Adapun sekiranya keburukan yang aku lakukan, mudah-mudahan, itu memang perbuatan yang aku tidak sadari, atau itu tanpa sengaja. Bagiku, itu wajar sebagai mahluk yang tidak sempurna. Mengutip Bunda Dorce,”Kesempurnaan hanya milik Allah”.



O,ya, barusan, aku sudah motong kuku kaki-tanganku. Bukan apa-apa, karena memang kuku kaki-tanganku sudah mulai panjang-panjang. Dan, itu kurang pantas menghiasi tubuhku. Aku bukan seorang Sekretaris yang kerjanya kantoran. Kalau Sekretaris, boleh lah panjang kuku-kukunya. Mungkin,lho? Mereka, yang jadi Sekretaris, kan kerjanya gak kotor-kotoran seperti aku. Aku, kerjanya main tanah melulu. Bila panjang saja sedikit, penuh tu ama tanah. Gak cocok, deh jadi Sekretaris! Mening kamu aja. Selain itu, hari ini kan Jum’at, katanya, tuh, menurut kitab Hadits, bahwa membersihkan anggota tubuh pada hari ini, itu sunat hukumnya. Bukan berarti mendeskreditkan hari-hari yang lain,lho. Tapi, ada nilai plus lah dari Tuhan. Malah, hari-hari selain hari Jum’at, memberesihkan tubuh itu terbilang wajib. Kalau saja gak wajib,nih, mungkin aku gak bakalan mandi seumur hidup.

Wah, nasi udah masak ,tuh! Sekarang, aku akan membeli sesuatu yang bisa menemani nasiku. Kan kasian kalo nasi sendirian. Ntar sedih,lagi....Ya, udah, aku mau keluar kamar dulu,ya. Do’akan,ya. Supaya aku bisa kembali menemuimu.

10.44

Indonesia diguncang Bom. Diaryku, lagi-lagi kita dikejutkan oleh Bom. Ya, baru saja, aku menyaksikan berita di hampir seluruh televisi yang ada, semuanya memberitakan tentang ledakan Bom yang terjadi di hotel JW.Marriot dan hotel Ritch Carlton, Kuningan, Jakarta pusat. Itu terjadi sekitar pukul 07.45 hari ini. Korban yang meninggal mencapai 9 orang, bahkan bisa lebih. Karena itu hanya keterangan sementara.

16.34

Diaryku, bantu aku berdo’a,dong. Please...Sekarang, aku butuh semangat untuk berbuat sesuatu dan mampu melakukannya. Ya, Allah, berikanlah kepada hamba ini kemampun untuk melakukan sesuatu. Dan tolong ya Allah, jauhkanlah hamba-Mu ini dari sifat malas yang mengungkung jiwa. Lepaskanlah aku darinya ya Allah. Permudahlah urusanku ya Allah, jangan kau persulit. Karena kepada siapa lagi aku memohon selain kepada Engkau. Juga, hindarkanlah aku ya Allah, dari perbuatan-perbuatan yang aku benci dan kau juga benci. Hamba mohon, ya Allah. Kabulkanlah segala permintaan hamba. Aamin.

Catatan 16 Juli 2009

0 komentar
Kamis, 16 Juli 2009, 12.00

Diaryku, baru saja aku menelanjangimu, eh Adzan bergema. Ya, aku langsung mengucapkan,”Betapa cepatnya waktu”. Ibarat kilat cahaya petir. Begitu cepat. Begitu melesat. Ah, waktu, waktu.




12.28

Maaf, Diaryku, barusan kau tinggal dulu beberapa menit. Bukan bermaksud mencuekkanmu. Tidak sama sekali. Aku baru saja melaksanakan kewajibanku. Tapi, bukan menggugurkan kewajiban,lho. Masalahnya, aku yang butuh, bukan Dia. Tuhan tidak butuh aku. Tuhan hanya butuh pengabdianku. Bukan aku secara fisik. Fisikku hanyalah tidak lebih dari sebongkah Bangkai yang terletak di pinggir Got. Tidak lebih dari itu. Diri ini hina sebenarnya, hai Diaryku. Apakah kau dengar ocehanku? Semoga kau mendengarkannya, meski terkesan bosan. Ingat Diaryku, semakin kau bosan dengan kata-kataku, semakin aku senang mengumbar deraian deretan kata ini. Sekali lagi, jangan coba kau menghalangi untuk sekedar menelanjangimu. Jangan pula coba meronta. Sekali meronta, berulang kali pula aku akan menindihmu. Bahkan, aku akan coba menetaskan bibitku padamu. Agar, apa yang telah kita perbuat, akan menghasilkan. Ya, aku ingin dinilai orang, sebagai manusia kontroversial. Aku tidak mau menjadi manusia biasa. Tapi, menjadi manusia luar biasa, dan biasa di luar. Maaf, Diaryku, bila kata-kataku terlalu meninggi. Seandainya saja tidak seperti ini, mana mungkin aku berhasil menelanjangimu. Sekali lagi, maaf.

Diaryku, ada hal yang ingin aku katakan kepadamu. Kita kan pernah berjanji, apapun yang terjadi, apapun yang aku rasakan, dan apapun yang aku alami tentangku, aku akan selalu menceritakannya padamu. Begitu pun dirimu. Dan kita pun telah mengikat janji setia, bahwa kita adalah sahabat. Aku berusaha untuk tidak mengingkari itu. Begini Diaryku, tadi pagi, sekitar pukul 10 Waktu Indonesia Bandung (WIB), tepatnya, setelah aku membaca sebuah novel. Novel itu berjudul,”Gadis Garut”. Ada yang menghubungiku lewat Hp Siemen jadul milikku. Awalnya, aku tak mau mengangkat. Soalnya, nomor Hp yang muncul pada layar Ponsel itu tanpa nama. Alias nomor baru.Huh..

Tapi, aku harus menghargai siapa pun yang coba menghubungiku. Termasuk yang tanpa nama sekali pun. Atau, apalah, aku gak tahu alasanya. Nah, aku angkatlah itu Hp. “Assalamualaikum” Kataku spontan. Suara nun jauh pun menjawab salamku.”Cep, ini Ahmad” Katanya. Dari suaranya saja, aku tampak kenal sekali siapa Ahmad. Dia adalah teman lamaku ketika dulu di Sumatra. Kini, ia dan sebagian keluarganya sudah pindah lagi ke daerah asalnya, Majalaya, Kabupaten Bandung. Hampir di sekeliling desanya berdiri puluhan Pabrik. Yang dari Corong-corong Pabrik itu menguapkan asap-asap hitam. Sehingga, kini, dan mungkin seterusnya, daerah itu akan berhawa panas. Sepanas ditolak Cewek ketika nembak.

15.44

Tiga menit yang lalu, aku baru saja berlabuh ke Pulau Kapuk. Lumayan. Urat-uratku agak sedikit rileks. Rasanya,tak ada mimpi yang kulewati. Jadi, tak ada yang mesti aku ceritakan. Aku hanya ingin, sebelum aku salat Ashar ini, menyambung cerita tentang si Ahmad terlebih dahulu. Biasanya, bila dinantikan, aku sering terkena sindrom lupa. Makanya, aku ceritakan sekarang saja. Aku pun sangat paham bahwa ada sebuah pepatah yang mengatakan,”kerjakanlah hari ini apa yang bisa kamu kerjakan, jangan menunggu sampai esok hari,” Karena ujaran dan ajaran itu lah, hingga aku sedikit bisa menghargai waktu. Bagiku, 5 menit adalah waktu untuk berkarya. Apalagi, lebih dari itu.

Nama aslinya Damat. Panggilannya sejak kita kecil adalah Ahmad. Matanya sipit. Mirip keturunan Xianjiang., atau Urumqi. Rambutnya gimbal. Sedikit saja panjang, yah...hampir sama seperti Mie yang sudah direbus.. Itu dulu,lho...gak tahu lah sekarang.

16.50

Intinya, pembicaraanku dengan Ahmad adalah menanyakan kabarku, juga kabarnya. Dia pun menginformasikan padaku, bahwa, minggu depan, tepatnya 19 Juli 2009, ia akan melangsungkan akad pernikahan dengan seorang gadis yang dicintainya. Tidak jauh-jauh. Masih tetangga terdekatnya. Dengan pengharapan yang sangat, Ahmad memohon supaya aku hadir dalam akad itu. Aku hanya mengatakan,”Insyaallah aku akan datang pada hari dimana kau bahagia” Selanjutnya, dalam pembicaraan via telepon itu, aku jujur padanya jangan pernah marah bila aku datang ke sana, aku tak membawa Kado spesial pernikahan. Tak apa-apa,katanya. Yang jelas, hadir saja dulu. Ia menambahkan. Ya, sudah. Cuma itu. Aku hanya gembira dan bangga mendengar kabar itu. Berarti, temanku tadi, sudah siap lahir-batin. Sudah menerima segala resiko yang akan menimpa di kemudian hari. Siap mengarungi bahtera rumah tangga. Semoga saja, mereka berdua hidup rukun, aman ,dan damai. Kalau dala bahasa agamanya,”Mawaddah Warahmah” Aku sebagai teman, hanya bisa mengucapkan selamat menempuh hidup yang baru. Mudah-mudahan diberikan rezeki yang halal melimpah, dan umur panjang yang berkah, serta dilimpahkan keturunan yang soleh dan solehah.

21.49

Diaryku, malam ini, aku sedang sedikit sedih, karena aku sedang mendengarkan lagu-lagu Bollywod. Kenapa sedih? Pasti ada sejarahnya. Ya, lagu itu mengingatkanku pada perpisahan kelas 3 MAN Model tiga tahun lalu. Khususnya kelas Bahasa. Waktu itu, kami satu kelas rihlah ke Curup. Yang kami kunjungi adalah Danau mas, Air terjun, dan Kebun teh. Rasanya, ingin sekali bertemu dengan teman-teman. Aku rindu kebersamaan. Aku rindu canda tawanya. Aku juga rindu makan bareng-barengnya. Tapi, kini, semuanya telah berpisah menempuh jalan masing-masing. Kita tak selamanya bersama. Adakalanya kita berpisah. Berpisah untuk sementara waktu. Suatu saat, kita juga akan dipertemukan bersama. Semoga. Sukses buat teman-temanku.

Catatan 15 Juli 2009

0 komentar
Rabu, 15 Juli 2009, 07.50

Diaryku, aku mau jujur padamu pagi ini. Boleh kan? Aku rasa boleh, karena kau adalah sahabat terbaikku yang selalu hadir dalam ketidakhadiranku. Begini, aku, subuh kali ini, tidak sempat salat subuh. Aku menyesal....sekali. Diaryku, kenapa kau tidak membangunkanku sebelum subuh sebagaimana biasanya? Apa kau juga ikut kesiangan? Bahkan tidak salat subuh juga? Aku bangun pagi pada hari ini tepat pukul 07.15. Ampuni aku ya Allah. Jangan biarkan diri ini teraniaya ya Allah. Aku bukan takut pada-Mu ya Allah. Karena kau tak pantas untuk ditakuti. Tapi, aku segan pada-Mu ya Allah. Juga aku malu pada-Mu.

Setelah aku sarapan pagi bersama temanku, kini ada tugas lagi untukku. Mau tahu tugasnya apa? Ya, aku mau nyuci dulu.





10.03

Alhamdulillah, aku barusan saja sudah nyuci. Banyak banget cucianku. Bejibun. Ada 2o kain yang aku cuci hari ini. Alhamdulillah juga, tepatnya, selagi aku menjemur pakaian, Mas warung menawariku buah Pepaya. Dalam bahasa Sundanya”Gedang”. Tapi, kalo dalam bahasa Bengkulunya, “Gedang” itu berati”besar”. Dalam bahasa Arabnya,”Babaya”. Dalam bahasa Inggrisnya, apa,ya, lupa aku. Ntar deh, aku cari di Hasan Shadly. Setelah Pepaya berhasil aku dapatkan, di kamar, aku langsung membelahnya. Kukupas. Kuiris kecil-kecil. Wuih...manis banget rasanya. Semanis Bidadari syurga. Meskipun aku belum sempat ke sana. Tapi, aku sudah nyarter tempat di mana Bidadari itu berada.

Eh, iya, aku ada cerita,nih. Tadi malam, ketika aku sedang bermain dengan emachinesku, aku sempat berkenalan dengan teman yang sebelumnya tidak aku kenal. Meski satu kampus. Dia sendiri yang mendahulukan bertanya padaku. Eh, siapa namamu? Katanya. Aku langsung menjawab. Hasan namaku. Sembari aku sibuk dengan FB-ku, dia pun begitu. Di tengah-tengah itu, aku bertanya padanya tentang biodatanya. Namanya, Abas hidayat. Asalnya dari Cirebon. Kayaknya, keturunan Sunan Gunung Djati,deh. Mungkin. Kuliahnya di jurusan Matimatian. Eh, Matematika. Semester akhir. Dia in the kos di perumahan Permai Cipadung. Katanya juga, ia sedang nyusun skripsi. Tapi, hanya bab satu aja, itu pun gagal. Di samping aktivitas kuliahnya, Abas juga mengajar privat bahasa Jepang. Tempatnya di Jatinangor, Sumedang.

Ia pun bercerita, sempat pula ia cuti selama satu semester demi mengajar bahasa jepang. Nilai kuliahnya, sempat bobrok. Itu lah jalan hidup, begitu katanya menambahkan. Abas pun sempat menawarkan padaku. Menawarkan bila ingin belajar bahasa Jepang, datanglah ke kamarnya. Tawaran itu kusambut dengan ucapan terimakasih. Insyaallah kataku selanjutnya. Dia pun bertanya tentang dari mana aku berasal, jurusan apa kuliahnya, sampai di mana aku nge-kos. Yah, aku jawab saja seadanya. Aku berasal dari Bengkulu. Aku jurusan paling mengerikan diantara jurusan yang lain. Sastra Arab. Kosku ada di Manisi, dekat kolam pemancingan. Setelah kutanya, apakah tahu daerah kolam pemancingan, ternyata, Abas belum tahu. Belum terlacak.

Aku pun kembali bertanya pada Abas. Manakah yang paling sulit, belajar bahasa Inggris atau Jepang? Katanya,sih, menurut pengalaman dia, lebih enak belajar bahasa Inggris. Tahu kenapa? Karena, dalam bahasa Jepang itu, yang paling sulit adalah cara menulis hurufnya. Bahasa Jepang, menekankan pada tulisannya. Persamaan bahasa Jepang dan Indonesia, hanya pada huruf vokalnya saja. A,I,U,E,O. Selain itu, tidak ada. Ia pun meneruskan, jika ingin bisa bahasa Jepang, intinya pada tulisan. Harus selalu dilatih dalam menuliskan hurufnya. Huruf Jepang berbeda dengan hurup yang biasa kita pakai. Sangat berbeda.

Catatan 14 Juli 2009

0 komentar
Selasa, 14 Juli 2009, 09.00

Aku menyesal pagi ini. Aku bangun rada kesiangan. Tepatnya, pukul 07.00. Astagfurullah. Salah apa aku? Aku langsung bergerak maju menuju kamar mandi. Cuci muka. Wudhu tepatnya. Selanjutnya, aku langsung salat. Aku gak tahu, salat apa siang begini. Subuh bukan, atau barangkali Dhuha pun belum waktunya. Ya, udah, gabungin aja. He..Yah...minimal salat tobat dua rakaat. Boleh kan?





Catatan 12 Juli 2009

0 komentar
Ahad, 12 Juli 2009, 07.06

Diaryku, tahu,gak? Aku tadi malam, pokoknya setelah Isya, aku kembali mengunjung mas Jawa itu. Aku mengambil sesuatu yang aku butuhkan. Mungkin cukup untuk tiga hari ke depan. Beras satu kilo setengah, Mie Goreng 2 buah, Wingko Babat 1, Kacang garuda 500-an 2, Selai pisang 500-an 2 buah. Total utangku yang ada dalam catatan mas jawa malam itu semakin membengkak. 53.000 ribu rupiah. Tak apalah, sekali-kali membuat orang kaya dan senang.

Pukul delapan malam lebih 10, aku melangkahkan kaki ini menuju kampusku tercinta. UIN Bandung. Aku menuju masjidnya. Iqomah namanya. Masjid yang terbilang mewah lah sebanding masjid yang ada di desaku. Tapi, masjid itu menyimpan misteri yang sampai saat ini aku tak mengerti. Beberapa bulan yang lalu saja, temanku kehilangan Sandal barunya. Harganya pun lumayan mengerutkan dahi bagi yang tak biasa. 75.000 ribu. Kulit lagi. Lingkungan akademis yang banyak pencuri. Mungkinkah mahasiswa yang buat iseng? Mahasiswa UIN gitu,loh? Yang setiap harinya, dapat dipastikan ada matakuliah Fiqih, Hadits, Qur’an, dan matakuliah berbau agama lainnya.

Dua tahun yang lalu pun, masih teman yang itu juga. Karena memang, temanku yang satu ini kerap kali tertimpa musibah. Aku pun tidak tahu. Mungkin Tuhan yang mahatahu. Wah, ini lain lagi, bukan Sandal yang hilang, melainkan Sepatu. Itu pun baru saja dibeli. Bila tak salah, 250.000 ribu. Hitam warnanya. Ada sedikit putih. Yang bikin aku aneh, sebelum salat, sepatu itu Dia titipkan di ruang penitipan. Di sana pun, penjaganya ada. Setelah salat Dhuhur merasa sudah ditunaikan, Dia pun mencoba keluar dari ruangan masjid. Ketika bermaksud mengambil sepatu di tempat penitipan, setelah dilirik, kok sudah tidak ada. Aneh. Padahal, tadi kan ada penjaganya. Dengan hati yang amat sangat dongkol, temanku tadi hanya bingung dan tak terhindarkan kata-kata yang tak pantas pun terpaksa membuncah.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya yang kesal semakin tidak terkendali. Berarti, temanku sudah dua kali kehilangan barang di lingkungan masjid Iqomah.”Anjing!, Goblog!, Saha,sih jelema,teh! Aing geus dua kali leungit didieu,” umpatnya. Tapi dia pun sadar, sebenarnya, meskipun temanku tadi mengucapkan beribu kali kata Anjing, Goblog, dan lainnya, tetap saja tidak akan kembali apa yang sudah hilang. Hilang ya hilang. Sampai pada akhirnya, temanku tadi tidak sempat mengucapkan klarivikasi atas ucapannya yang kurang senonoh. Ucapan “Astagfirullah”,misalnya. Tapi, ditunggu-tunggu, tak memuncrat juga. Ia pun juga berpikir, apakah akan kembali sepatu yang hilang tadi bila saja mengucapkan”Astagfirullah”? Makanya, kesimpulannya, ia tak mau mengucapkan sepatah kata pun. Yang lalu biarlah berlalu.

Eh, Diaryku, maaf,ya aku terlalu banyak mengingat masa lalu. Ya, setelah aku sampai di Teras Iqomah, aku melihat, di dalam masjid ada semacam orang-orang sedang berkumpul. Dan, orang-orang itu disekat dengan semacam Hijab buatan. Wah, nampaknya, sekat tadi untuk pemisah antara, atau bahasa PKS-nya Ikhwan-Akhwat. O..memang benar, yang mengadakan acara itu ternyata anak keturunan PKS sendiri. KAMMI. Aku mendengar agak sayup-sayup, apa yang mereka diskusikan. Tapi, ada sedikit yang terdengar olehku apa yang disampaikan Pemateri di dalam masjid itu. Membahas soal untuk ujian masuk UIN sepertinya. Ini materi BIMTES mungkin.

Aku pun langsung membuka emachinesku tanpa memerhatikan lagi apa yang sedang diperbincangkan di dalam masjid. Yang jelas, perkumpulan itu bukan perkumpulan menyesatkan. Karena aku tahu, tak ada yang sesat atau menyesatkan di dunia ini. Yang sesat adalah yang mencoba mengatakan sesat kepada selain kelompoknya. Juga yang mencoba mengatakan”Aku yang paling benar!” Atau yang yang berani mengatakan”Di sini lho yang paling tepat!” Aku kira, itu yang disebut sesat karena ketidaksadarannya bahwa ia sesat. Ah, gak tahu lah. Aku juga bukan orang yang pandai mendikte mereka sesat atau ini tidak sesat. Barangkali aku yang sesat.

Sambil membuka akun facebook, aku pun memandang langit. Malam itu, sepertinya langit sedang bersedih dan terlihat murung pada raut wajahnya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Bukan hanya langit, di sana ada Bulan. Bulan pun begitu, sorot cahanya tidak seperti biasa. Redup. Seperti menangis. Langit terlihat mengeluh dengan keadannya. Aku pun yang memandangnya, merasa bersalah. Apakah Langit dan Bulan kurang menerima kehadiranku? Atau ada masalah lain yang lebih krusial? Mungkinkah Langit dan Bulan marah melihat kecurangan dalam Pilpres yang baru saja digelar? Hanya langit-Bulan lah yang pantas menjawabnya.

Aku mulai ke Beranda. Ada 1 permintaan teman. Aku langsung mengkonfirmasinya tanpa berpikir panjang. Mau yang sudah dikenal, atau pun tidak. Harus kuterima. Aku bukan tipe orang yang pandai mengabaikan permintaan orang. Ya, mudah-mudah, dengan menjalin banyak teman, jaringan, aku bisa hidup dan bahagia. Aku juga sadar betul, bahwa aku termasuk mahluk sosial. Hati ini terus mendorongku, jangan pernah menutup diri terhadap lingkungan yang ada. Siapa,sih yang tak mau sukses dalam pergaulan? Hanya orang-orang yang sakit”sosial” lah yang tak ingin berhasil dalam bersosialisai. Jadi, siapa pun orangnya, dari suku manapun, organisasi manapun, agama apapun, cantik, seperti cantik, agak-agak cantik, ganteng, kurang ganteng, aku akan menerima mereka dengan harapan bermanfaat dalam arti hubungan sosial antarmanusia.

Aku meng-klik”konfirmasi”. Tak lama, muncul nama Chairil anwar. Hah, Chairil Anwar? Dia kan sudah lama pergi sejak Tuhan mengambil nyawanya? Kok ada di akun facebook,ya? Bayangannya kah yang mengoprasikan facebook? Atau memang dia hidup kembali? Dengan perasaan tak menentu dan agak sedikit merinding, tak lupa juga, mulutku terus komat-kamit ayat-kursi. Serta ditambah ayat-ayat lain untuk memperkuat keberanianku untuk meng-klik nama”Chairil Anwar”.

Ayat-ayat suci pun telah aku baca. Aku agak sedikit ada kekuatan dan energi positif masuk dalam jiwaku. Tanpa ragu sedikit pun, aku langsung meng-klik nama yang penuh misteri itu. Jiwa yang tadi penuh cemas dan takut, kini aku terbahak sendiri disaksikan angin malam dan emachinesku. Karena, yang aku duga sebagai Chairil Anwar”asli”, ternyata, ini hanya duplikatnya saja. Nama boleh beda, muka tak mirip sama sekali dengan penyair yang dikenal bertangan dingin itu. Yang aku klik ini adalah Chairil Anwar-nya UIN. Dia anak sastra Arab juga. Kakak kelasku. Dalam kesehariannya, ia biasa dipanggil”Ariel”. Tapi, berbeda jauh nasibnya dengan Ariel Peterpan. Akhirnya, aku pun mencoba menulis di dindingnya. “Haturnuhun,Kang, atas add-nya”.

17.54

Adzan Magrib berkumandang di sekitar bumi Parahyangan. Begitupun di layar televisi. Semuanya adzan. Tapi, aku begitu yakin, kalau di Bengkulu, asalku, saat ini pasti belum adzan. Karena berbeda waktu antara Jawa dan Sumatra. Paling, berbeda beberapa menit lah. Meskipun berbeda waktu, yang jelas, suasana relijius sebagai hamba yang amat lemah, tetap dijalankan.

Diaryku, sore menjelang malam ini, entah kenapa, pikiranku ada bayangan yang seolah-olah, bayangan itu berbentuk kalimat perintah. Tentunya, itu ditujukan kepadaku. Atau, memang hatiku saja yang begitu perasa. Aku kira tidak. Tapi, ini semacam bayangan yang bisa sedikit membahagiakanku. Soal cewek. Cewek yang mana,ya? Entahlah....jika saja aku menuliskan tentang seorang wanita di sini, itu sangat tidak mungkin. Tak cukup waktu untuk menuliskannya di sini. Kenapa? Karena butuh perenungan mendalam. Dan, aku kira, rasanya tak cukup kosakataku untuk sekedar menggambarkannya. Ntar lah di lain waktu bila kosakataku telah setumpuk Gunung Manglayang.

Aduh, Diaryku, rasanya, perut ini tidak enak terus semenjak aku makan Mie Goreng beberapa jam yang lalu. Bungkusnya Mie goreng, tapi aku memasaknya malah direbus. Aku sengaja. Biar ada kuahnya. Aku takut bahaya makan Mie terus. Dapat dipastikan, setelah melahapnya, lambungku terus bereaksi. Kriuk-kriuk terdengar olehku. Pencernaanku gak menerima sepertinya. Sepuluh menit kemudian, aku langsung lari ke WC sambil membawa buku. Tentunya buku yang tidak berbau atau berisi kitab sakral. Hah, kok bawa buku? Ya, hampir setiap saat, bila aku silaturahmi ke WC, aku harus membawa buku. Tapi, itu pun bila ingin buang hajat besar dan mandi. Kalau sekedar buang air kecil, aku tidak membawanya. Waktunya sedikit. Menurutku, WC adalah the refresentative place for reading. Gak percaya? Jangan pernah percaya kata-kataku, bila belum mencoba. Dari pada melamun di WC, takut berbuat yang seharusnya diinginkan, mendingan membaca. Baca apa saja. Bebas. Asal jangan majalah Playboy!

Sekarang, mau makan apa,ya? Ah, gak ah..makan melulu yang dipikirin. Ada Mie,kok? Gak, ah. Nanti takut perutku bermasalah. Mungkin, aku gak cocok makanan yang murahan. Cocoknya, perutku ini, diisi oleh makanan yang dimakan oleh pak SBY. High class,dong! Ada-ada saja sampean iki. Begitu kenyataannya,kok?

23.03

Suasana kosku semakin sunyi. Yang ada hanya suara-suara Jangkrik yang sedang mencari makan, serta suara cengkrama kamar sebelahku yang sedang asyik menonton TV. Main bola kemungkinan. Biarlah mereka terus menonton dengan tontonannya. Biarlah juga Jangkrik-jangkrik yang berkeliaran itu menikmati kebebasannya. Sedangkan aku di sini, biarlah terus mengeja kata hingga batas waktu yang telah digariskan. Biarkan juga temanku mendengkur dengan segala keasyikannya. Tak lupa, di dekatku, berkeliaran beberapa binatang hitam sedang berkeliling-keliling. Ada yang besar, sedang, dan ada juga yang kecil. Ya, semut-semut itu. Nampaknya, mereka juga berkegiatan sedang mencari yang manis, atau makanan kecil. Atau, mereka, para semut itu, mendekatiku, karena aku cukup manis? Para semut pun tertawa terbahak tanda bahwa aku memang sangat manis. Versi Semut.

Eh, Diaryku, aku ada cerita,lho untukmu? Apa itu? Tadi, setelah aku salat Isya, aku coba kirim seuntai sms kepada seorang temanku. Dia seorang perempuan. Mempunyai Tahi Lalat di Pipi kanannya. Cantik orangnya. Sedikit pemalu. Rumahnya ada di Bengkulu. Tepatnya di Panorama, Lingkar timur. Ah, pokoknya ada di kota Bengkulu,deh. Kini, ia sedang kuliah di Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Jurusan Biologi. Semesternya, sama denganku. Enam akhir.

Begini kira-kira sms yang aku kirimkan kepadanya,”Ass, halo, Ti...pa kabar? G ngapain,nih? Singkat saja. Sekedar menanyakan keadaannya. Lama aku menunggu jawabannya. Tak dibalas juga. Tak apalah, barangkali sedang tidak punya pulsa. Atau, mungkin saja dia sedang berpetualang di alam mimpi. Ah, subuh kayaknya dibalasnya.

Pada pukul 22.30, ada sebuah sms mampir ke Ponselku. Aku buka. Wah, dari Alti Apriani. Alhamdulillah, ya Allah. Hatiku terselimuti aroma gembira. Kubaca dengan seksama huruf demi huruf sms itu.”Waslm...Cep, besok Ti smstrn do’ain yo biar nilai Ti bagus. Coz, do’a orang baik cak CCP tu d dgar.....he....”

Mau kubalas langsung,gak,ya? Besok aja,deh sudah subuh.

Catatan 11 Juli 2009

0 komentar
Sabtu, 11 Juli 2009, 11.57

Diaryku, sekali lagi, maafkan aku. Bukan bermaksud melupakanmu. Aku sangat sadar, beberapa hari ini, aku tak menyentuhmu. Kira-kira sepulu hari lah. Aku rela kau marahin aku. Aku juga rela kau caci-maki . Rela sekali. Tapi jangan sampai kau tidak menyuruhku untuk berteman denganmu. Jangan sampai. Tanpamu, kepada siapa lagi aku bersimpuh dan mengadu. Karena kau lah yang pantas dan cocok buatku mencurahkan segala isi hatiku. Sekali lagi dan seterusnya, maafkan aku,ya.


Aduh, Diaryku, siang ini terasa terik sekali Matahari menyengat. Sudah lama tidak hujan. Aku sungguh merindukan hujan. Apakah kau juga begitu Diaryku? Aku harap kau juga sehati denganku. Tapi, terik itu perlahan berubah menjadi dingin. Diary tahu kenapa? Sebab, kala aku menidurimu dan menelanjangimu, masjid yang ada di samping kosku, tiba-tiba mengeluarkan suara. Yang aku tahu, suara itu keluar dimulai dengan kalimat”Allahuakbar-allahuakbar” dan diakhiri dengan”Laailahaaillallah”. Sampai suara itu tak terdengar lagi, aku masih tetap dalam posisi di atasmu. Sakitkah kau Diaryku? Semoga saja itu sakit yang berakhir dengan sebuah kenikmatan.

My Dear Diary, saat ini, atau tepatnya sudah beberapa hari ini, aku sedang dilanda”kanker”. Katanya,sih, penyakit itu berbahaya bagi perkembangan segalanya. Jadi, terpaksa saja, beberapa hari ini pun, aku bersilaturahmi dengan saudara Mas Jawa sebelah kosku. Kebetulan, mas Jawa itu punya warung. Gede warungnya. Dengan pendekatan emosi ala anak kos, akhirnya aku berhasil menundukkan pikiran mas jawa itu. Dengan berbagai alasan yang cukup dan disertai argumen yang kaya akan teori, Mas jawa itu pun menerima proposalku.Dan memang, mas Jawa ini adalah salah satu langgananku untuk membeli sesuatu plus tempat berhutang.

Tak ada sedikit pun rasa kesal di raut wajah mas Jawa itu ketika aku menghutanginya. Ia malah terlihat senang dengan maksudku. Malahan mas jawa berujar,”Santai aja,lah, Mas juga pernah merasakan hal yang sama seperti kamu, asal jujur saja sama saya,mah”. Kalimat mas itu semakin membuatku semangat dan semakin berkurang rasa maluku. Juga semakin optimis, bahwa, bila telat kiriman dari orang yang kukasihi, santai aja, tinggal datang saja ke warung terdekat. Mas Jawa. Mau apa saja, tinggal katakan. Beres. Selanjutnya, mas Jawa itu mencatat bonku di catatan khusus. “Hasan”. Sampai hari ini saja, sudah tercatat di buku khusus itu sejumlah 32.000 ribu rupiah. Itu belum seberapa kata Mas, dibandingkan tetangganya yang sudah berumah tangga. Menghutangnya sampai ratusan atau lebih dariku.

Diaryku, sampai saat ini, siang ini, aku belum makan. Beras ada, tapi lauknya harus beli. Sudah kukatakan, bahwa aku, sekarang lagi tak ada uang. Di kamarku ada celengan ikan yang terbuat dari tanah. Sengaja aku membelinya yang tidak terbuat dari plastik. Sebenarnya, sudah beberapa kali aku membeli celengan plastik, tapi, nafsu untuk membongkarnya terus mengintai. Akhirnya, ya dibongkar lagi dibobol lagi. Mudah-mudahan, dengan celengan yang terbuat dari tanah ini mengurangi kebiadabanku untuk membobolnya.

Dengan terpaksa, aku coba geledah seisi kamar, seisi Lemari, Baju yang menggantung, Baju yang bertumpuk ingin dicuci, serta di atas buku-buku. Barangkali aja ada uang yang tercecer atau tak dipakai lagi. Nah, ternyata ada juga yang aku cari. Lumayan untuk satu Mie. Aku menemukan 1.300 rupiah dari tempat Pena. Gembira rasanya hati ini. Meskipun sebenarnya agak sedih. Biasa, aku kan jauh dari orang terkasih. Pulang ke Rumah paling banter dua kali setahun. Liburan semester dan liburan puasa.

Uang tadi dimanfaatkan untuk membeli Mie. Mie kocok Bandung khas Jawa Barat. Yang membeli bukan aku, tapi temanku. Aku di kamar itu tinggal berdua. Atau sekamar lah. Menurut kita, biar pembayaran kosnya agak ringan. Berdua sekamar dihargai 225 ribu rupiah plus listrik. Sementara, aku masak nasi. Masaknya bukan seperti di desaku. Banyak asap dan pedih bila terkena mata. Pake kayu bakar ditambah daun Kelapa kering. Bukan pake itu. Sorry,ya. Tapi di sini, aku menggunakan produk dari modernitas. Restcooker. Tak sampai 10 menit, sudah mengeluarkan asap. Asapnya gak pedih,lho seperti di desaku. Lalu, siap dihidangkan meski berlauk Mie.

Walau makan berlauk Mie, kita tetap semangat dan lahap memakannya. Dan tentunya, kita bersyukur tidak begitu susah mencari sesuap nasi. Lantas, aku teringat dengan orang-orang Palestina, Ethiopia, dan di belahan negara lainnya yang mereka, sangat miskin, bahkan untuk makan pun susah didapat. Di Palestina misalnya,sebagian penduduknya hampir dalam keseharinnya, mereka hanya disuguhi Tank-tank baja Israel, Granat-granat panas, dan tembakan-tembakan penghianatan. Mereka susah untuk mencari kebebasan. Hidupnya sudah terbiasa dengan teror, bukan dengan Telor. Sedang aku di sini, belum seberapa. Udara kebebasan tebuka luas sekali.

Acara makan pun kusudahi. Lambung yang tadinya protes, kini tak lagi terdengar teriakannya. Alhamdulillah ya Tuhan. Berkat-Mu, aku hidup, juga berkat-Mu pula nanti aku mati. Nanti,lho, jangan sekarang!. Aku pun bergegas mandi meski terlalu siang. Tapi tak apalah, karena tak ada aturan baku mandi harus pagi atau siang. Yang jelas, harus tersentuh air. Begitu saja,kok repot. Eh, maaf,ya Gus. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah ritual mendekatkan diri pada Tuhan. Jika bisa, menyetubuhinya.

Catatan 01 Juli 2009

0 komentar
Rabu, 01-07-2009, 09.04

Alhamdulillah, barusan saja, beberapa detik yang lalu, saya sarapan pagi. Nasi putih ditemani segenggam daging Ayam. Manis. Ala sunda memang. Dulu, pertama kali saya tinggal di Bandung, saya kurang menyukai masakan Sunda. Mau muntah rasanya, ketika saya mencoba mencicipinya. Saya tahu, karena saya tak biasa dengan masakan Sunda. Saya biasa masakan Padang. Pedas. Itu juga mungkin yang mempengaruhi watak saya saat ini. Tapi, lama-kelamaan, saya akhirnya suka juga masakan Sunda yang serba manis itu. Semakin cinta. Apalagi dibarengi dengan sambal terasinya, juga sambal cibiuknya. Yang benar-benar biuk.

Sebentar lagi saya mau ke kampus. Meskipun sebenarnya, untuk saat ini, kampus saya sangat sepi. Para mahasiswanya sudah libur, kecuali mungkin bagi mereka bimbingan yang sudah mencapai semester atas. Seperti saya misalnya. Karena harus sama dosen, melaporkan hasil PPL satu minggu yang lalu.Tapi tidak buat saya, saya hari ini belum mau bimbingan, ada hal yang belum selesai.

Yah, walau kampus saya sepi, saya harus meramaikannya. Minimal, saya harus berkunjung ke perpustakaannya. Membaca dan mencari informasi terbaru. Tentunya hanya di Pikiran Rakyat, dan berbagai koran lainnya.

Catatan 29 Juli 2009

0 komentar
Senin, 29 Juni 2009, 09.43

Segar yang saya rasakan. Barusan saja, saya sudah mandi. Mandi wajib. Bagi saya, setiap saya mandi adalah mandi wajib. Kalau memang mandi tidak wajib, maka saya pun tak akan mandi seumur hidup saya. Tanpa mandi, badan terasa tidak berkepala. Siapa yang gak mandi, pokoknya sangat berbahaya.Saya punya rencana lagi, setelah mandi dan makan. Mau mengunjungi perpustakaan kampus. Dalam rangka mencari buku-buku yang diperlukan untuk bahan laporan PPL. Sambil baca koran hari ini. Tentunya di ruang referensi. Lantai dua.

Hari ini juga maunya saya ingin ke Warnet. Tapi, warnet itu untuk saat ini tidak mau menerima yang tidak bawa uang. Ya sudah, saya mendingan ke masjid. Memohon pada Tuhan dengan khusuk. Salat khusus. Dhuha. Bagi yang percaya, dan konsisten melakukannya, akan dipermudah dalam rezeki serta urusannya. Saya pun melakukan itu ketika saya sedang kepepet. Seperti sekarang. Saya lagi butuh dengan Tuhan saya. Tuhan pasti tahu keadaan saya saat ini. Saya percaya, Tuhan maha penyayang.
span class="fullpost">