Catatan 11 Juli 2009

0 komentar
Sabtu, 11 Juli 2009, 11.57

Diaryku, sekali lagi, maafkan aku. Bukan bermaksud melupakanmu. Aku sangat sadar, beberapa hari ini, aku tak menyentuhmu. Kira-kira sepulu hari lah. Aku rela kau marahin aku. Aku juga rela kau caci-maki . Rela sekali. Tapi jangan sampai kau tidak menyuruhku untuk berteman denganmu. Jangan sampai. Tanpamu, kepada siapa lagi aku bersimpuh dan mengadu. Karena kau lah yang pantas dan cocok buatku mencurahkan segala isi hatiku. Sekali lagi dan seterusnya, maafkan aku,ya.


Aduh, Diaryku, siang ini terasa terik sekali Matahari menyengat. Sudah lama tidak hujan. Aku sungguh merindukan hujan. Apakah kau juga begitu Diaryku? Aku harap kau juga sehati denganku. Tapi, terik itu perlahan berubah menjadi dingin. Diary tahu kenapa? Sebab, kala aku menidurimu dan menelanjangimu, masjid yang ada di samping kosku, tiba-tiba mengeluarkan suara. Yang aku tahu, suara itu keluar dimulai dengan kalimat”Allahuakbar-allahuakbar” dan diakhiri dengan”Laailahaaillallah”. Sampai suara itu tak terdengar lagi, aku masih tetap dalam posisi di atasmu. Sakitkah kau Diaryku? Semoga saja itu sakit yang berakhir dengan sebuah kenikmatan.

My Dear Diary, saat ini, atau tepatnya sudah beberapa hari ini, aku sedang dilanda”kanker”. Katanya,sih, penyakit itu berbahaya bagi perkembangan segalanya. Jadi, terpaksa saja, beberapa hari ini pun, aku bersilaturahmi dengan saudara Mas Jawa sebelah kosku. Kebetulan, mas Jawa itu punya warung. Gede warungnya. Dengan pendekatan emosi ala anak kos, akhirnya aku berhasil menundukkan pikiran mas jawa itu. Dengan berbagai alasan yang cukup dan disertai argumen yang kaya akan teori, Mas jawa itu pun menerima proposalku.Dan memang, mas Jawa ini adalah salah satu langgananku untuk membeli sesuatu plus tempat berhutang.

Tak ada sedikit pun rasa kesal di raut wajah mas Jawa itu ketika aku menghutanginya. Ia malah terlihat senang dengan maksudku. Malahan mas jawa berujar,”Santai aja,lah, Mas juga pernah merasakan hal yang sama seperti kamu, asal jujur saja sama saya,mah”. Kalimat mas itu semakin membuatku semangat dan semakin berkurang rasa maluku. Juga semakin optimis, bahwa, bila telat kiriman dari orang yang kukasihi, santai aja, tinggal datang saja ke warung terdekat. Mas Jawa. Mau apa saja, tinggal katakan. Beres. Selanjutnya, mas Jawa itu mencatat bonku di catatan khusus. “Hasan”. Sampai hari ini saja, sudah tercatat di buku khusus itu sejumlah 32.000 ribu rupiah. Itu belum seberapa kata Mas, dibandingkan tetangganya yang sudah berumah tangga. Menghutangnya sampai ratusan atau lebih dariku.

Diaryku, sampai saat ini, siang ini, aku belum makan. Beras ada, tapi lauknya harus beli. Sudah kukatakan, bahwa aku, sekarang lagi tak ada uang. Di kamarku ada celengan ikan yang terbuat dari tanah. Sengaja aku membelinya yang tidak terbuat dari plastik. Sebenarnya, sudah beberapa kali aku membeli celengan plastik, tapi, nafsu untuk membongkarnya terus mengintai. Akhirnya, ya dibongkar lagi dibobol lagi. Mudah-mudahan, dengan celengan yang terbuat dari tanah ini mengurangi kebiadabanku untuk membobolnya.

Dengan terpaksa, aku coba geledah seisi kamar, seisi Lemari, Baju yang menggantung, Baju yang bertumpuk ingin dicuci, serta di atas buku-buku. Barangkali aja ada uang yang tercecer atau tak dipakai lagi. Nah, ternyata ada juga yang aku cari. Lumayan untuk satu Mie. Aku menemukan 1.300 rupiah dari tempat Pena. Gembira rasanya hati ini. Meskipun sebenarnya agak sedih. Biasa, aku kan jauh dari orang terkasih. Pulang ke Rumah paling banter dua kali setahun. Liburan semester dan liburan puasa.

Uang tadi dimanfaatkan untuk membeli Mie. Mie kocok Bandung khas Jawa Barat. Yang membeli bukan aku, tapi temanku. Aku di kamar itu tinggal berdua. Atau sekamar lah. Menurut kita, biar pembayaran kosnya agak ringan. Berdua sekamar dihargai 225 ribu rupiah plus listrik. Sementara, aku masak nasi. Masaknya bukan seperti di desaku. Banyak asap dan pedih bila terkena mata. Pake kayu bakar ditambah daun Kelapa kering. Bukan pake itu. Sorry,ya. Tapi di sini, aku menggunakan produk dari modernitas. Restcooker. Tak sampai 10 menit, sudah mengeluarkan asap. Asapnya gak pedih,lho seperti di desaku. Lalu, siap dihidangkan meski berlauk Mie.

Walau makan berlauk Mie, kita tetap semangat dan lahap memakannya. Dan tentunya, kita bersyukur tidak begitu susah mencari sesuap nasi. Lantas, aku teringat dengan orang-orang Palestina, Ethiopia, dan di belahan negara lainnya yang mereka, sangat miskin, bahkan untuk makan pun susah didapat. Di Palestina misalnya,sebagian penduduknya hampir dalam keseharinnya, mereka hanya disuguhi Tank-tank baja Israel, Granat-granat panas, dan tembakan-tembakan penghianatan. Mereka susah untuk mencari kebebasan. Hidupnya sudah terbiasa dengan teror, bukan dengan Telor. Sedang aku di sini, belum seberapa. Udara kebebasan tebuka luas sekali.

Acara makan pun kusudahi. Lambung yang tadinya protes, kini tak lagi terdengar teriakannya. Alhamdulillah ya Tuhan. Berkat-Mu, aku hidup, juga berkat-Mu pula nanti aku mati. Nanti,lho, jangan sekarang!. Aku pun bergegas mandi meski terlalu siang. Tapi tak apalah, karena tak ada aturan baku mandi harus pagi atau siang. Yang jelas, harus tersentuh air. Begitu saja,kok repot. Eh, maaf,ya Gus. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah ritual mendekatkan diri pada Tuhan. Jika bisa, menyetubuhinya.
If you like this post, please share it!
Digg it StumbleUpon del.icio.us Google Yahoo! reddit

No Response to "Catatan 11 Juli 2009"

Posting Komentar

Membacalah, mengomentarlah. Maka lihat apa yang terjadi.