Catatan 16 Juli 2009

0 komentar
Kamis, 16 Juli 2009, 12.00

Diaryku, baru saja aku menelanjangimu, eh Adzan bergema. Ya, aku langsung mengucapkan,”Betapa cepatnya waktu”. Ibarat kilat cahaya petir. Begitu cepat. Begitu melesat. Ah, waktu, waktu.




12.28

Maaf, Diaryku, barusan kau tinggal dulu beberapa menit. Bukan bermaksud mencuekkanmu. Tidak sama sekali. Aku baru saja melaksanakan kewajibanku. Tapi, bukan menggugurkan kewajiban,lho. Masalahnya, aku yang butuh, bukan Dia. Tuhan tidak butuh aku. Tuhan hanya butuh pengabdianku. Bukan aku secara fisik. Fisikku hanyalah tidak lebih dari sebongkah Bangkai yang terletak di pinggir Got. Tidak lebih dari itu. Diri ini hina sebenarnya, hai Diaryku. Apakah kau dengar ocehanku? Semoga kau mendengarkannya, meski terkesan bosan. Ingat Diaryku, semakin kau bosan dengan kata-kataku, semakin aku senang mengumbar deraian deretan kata ini. Sekali lagi, jangan coba kau menghalangi untuk sekedar menelanjangimu. Jangan pula coba meronta. Sekali meronta, berulang kali pula aku akan menindihmu. Bahkan, aku akan coba menetaskan bibitku padamu. Agar, apa yang telah kita perbuat, akan menghasilkan. Ya, aku ingin dinilai orang, sebagai manusia kontroversial. Aku tidak mau menjadi manusia biasa. Tapi, menjadi manusia luar biasa, dan biasa di luar. Maaf, Diaryku, bila kata-kataku terlalu meninggi. Seandainya saja tidak seperti ini, mana mungkin aku berhasil menelanjangimu. Sekali lagi, maaf.

Diaryku, ada hal yang ingin aku katakan kepadamu. Kita kan pernah berjanji, apapun yang terjadi, apapun yang aku rasakan, dan apapun yang aku alami tentangku, aku akan selalu menceritakannya padamu. Begitu pun dirimu. Dan kita pun telah mengikat janji setia, bahwa kita adalah sahabat. Aku berusaha untuk tidak mengingkari itu. Begini Diaryku, tadi pagi, sekitar pukul 10 Waktu Indonesia Bandung (WIB), tepatnya, setelah aku membaca sebuah novel. Novel itu berjudul,”Gadis Garut”. Ada yang menghubungiku lewat Hp Siemen jadul milikku. Awalnya, aku tak mau mengangkat. Soalnya, nomor Hp yang muncul pada layar Ponsel itu tanpa nama. Alias nomor baru.Huh..

Tapi, aku harus menghargai siapa pun yang coba menghubungiku. Termasuk yang tanpa nama sekali pun. Atau, apalah, aku gak tahu alasanya. Nah, aku angkatlah itu Hp. “Assalamualaikum” Kataku spontan. Suara nun jauh pun menjawab salamku.”Cep, ini Ahmad” Katanya. Dari suaranya saja, aku tampak kenal sekali siapa Ahmad. Dia adalah teman lamaku ketika dulu di Sumatra. Kini, ia dan sebagian keluarganya sudah pindah lagi ke daerah asalnya, Majalaya, Kabupaten Bandung. Hampir di sekeliling desanya berdiri puluhan Pabrik. Yang dari Corong-corong Pabrik itu menguapkan asap-asap hitam. Sehingga, kini, dan mungkin seterusnya, daerah itu akan berhawa panas. Sepanas ditolak Cewek ketika nembak.

15.44

Tiga menit yang lalu, aku baru saja berlabuh ke Pulau Kapuk. Lumayan. Urat-uratku agak sedikit rileks. Rasanya,tak ada mimpi yang kulewati. Jadi, tak ada yang mesti aku ceritakan. Aku hanya ingin, sebelum aku salat Ashar ini, menyambung cerita tentang si Ahmad terlebih dahulu. Biasanya, bila dinantikan, aku sering terkena sindrom lupa. Makanya, aku ceritakan sekarang saja. Aku pun sangat paham bahwa ada sebuah pepatah yang mengatakan,”kerjakanlah hari ini apa yang bisa kamu kerjakan, jangan menunggu sampai esok hari,” Karena ujaran dan ajaran itu lah, hingga aku sedikit bisa menghargai waktu. Bagiku, 5 menit adalah waktu untuk berkarya. Apalagi, lebih dari itu.

Nama aslinya Damat. Panggilannya sejak kita kecil adalah Ahmad. Matanya sipit. Mirip keturunan Xianjiang., atau Urumqi. Rambutnya gimbal. Sedikit saja panjang, yah...hampir sama seperti Mie yang sudah direbus.. Itu dulu,lho...gak tahu lah sekarang.

16.50

Intinya, pembicaraanku dengan Ahmad adalah menanyakan kabarku, juga kabarnya. Dia pun menginformasikan padaku, bahwa, minggu depan, tepatnya 19 Juli 2009, ia akan melangsungkan akad pernikahan dengan seorang gadis yang dicintainya. Tidak jauh-jauh. Masih tetangga terdekatnya. Dengan pengharapan yang sangat, Ahmad memohon supaya aku hadir dalam akad itu. Aku hanya mengatakan,”Insyaallah aku akan datang pada hari dimana kau bahagia” Selanjutnya, dalam pembicaraan via telepon itu, aku jujur padanya jangan pernah marah bila aku datang ke sana, aku tak membawa Kado spesial pernikahan. Tak apa-apa,katanya. Yang jelas, hadir saja dulu. Ia menambahkan. Ya, sudah. Cuma itu. Aku hanya gembira dan bangga mendengar kabar itu. Berarti, temanku tadi, sudah siap lahir-batin. Sudah menerima segala resiko yang akan menimpa di kemudian hari. Siap mengarungi bahtera rumah tangga. Semoga saja, mereka berdua hidup rukun, aman ,dan damai. Kalau dala bahasa agamanya,”Mawaddah Warahmah” Aku sebagai teman, hanya bisa mengucapkan selamat menempuh hidup yang baru. Mudah-mudahan diberikan rezeki yang halal melimpah, dan umur panjang yang berkah, serta dilimpahkan keturunan yang soleh dan solehah.

21.49

Diaryku, malam ini, aku sedang sedikit sedih, karena aku sedang mendengarkan lagu-lagu Bollywod. Kenapa sedih? Pasti ada sejarahnya. Ya, lagu itu mengingatkanku pada perpisahan kelas 3 MAN Model tiga tahun lalu. Khususnya kelas Bahasa. Waktu itu, kami satu kelas rihlah ke Curup. Yang kami kunjungi adalah Danau mas, Air terjun, dan Kebun teh. Rasanya, ingin sekali bertemu dengan teman-teman. Aku rindu kebersamaan. Aku rindu canda tawanya. Aku juga rindu makan bareng-barengnya. Tapi, kini, semuanya telah berpisah menempuh jalan masing-masing. Kita tak selamanya bersama. Adakalanya kita berpisah. Berpisah untuk sementara waktu. Suatu saat, kita juga akan dipertemukan bersama. Semoga. Sukses buat teman-temanku.
If you like this post, please share it!
Digg it StumbleUpon del.icio.us Google Yahoo! reddit

No Response to "Catatan 16 Juli 2009"

Posting Komentar

Membacalah, mengomentarlah. Maka lihat apa yang terjadi.